Kesya Sudah Pulang


Hening, itu yang baru saja kusadari setelah 6 jam terbangun dari alam mimpi dan sibuk masuk ke dunia kanvas lukis. Tidak ada suara anak perempuan yang sibuk berteriak menanyakan dimana kaos kaki sekolahnya, tidak ada suara anak perempuan yang pulang kerumah dengan membawa rombongan teman-temannya. Hanya ada suara kicauan burung yang dipelihara oleh sepasang kakek nenek di seberang rumah.

Kutengok halaman rumah seberang lewat balkon kamarku yang berada di lantai dua. Pemandangan yang kulihat hanya nenek yang sibuk dengan jualan-nya. Aku merasa perutku mulai memohon untuk diisi, segera kulepas celemek yang penuh noda berbagai warna, kucuci tanganku yang bau cat minyak, kuambil beberapa lembar uang untuk kumasukan ke saku celana, lalu aku bergegas turun menuju rumah seberang dimana nenek yang sedari tadi kuperhatikan masih sibuk membereskan sesuatu, entah apa.

“Gado-gado cabe satu ya nek” ucapku ke nenek, “Enggih nduk.” Hanya itu balasan nenek, tidak seperti biasanya, biasanya nenek akan mengejekku atau menawariku untuk menambah lebih banyak cabe. Sudahlah, mungkin nenek sudah bosan. Sembari menunggu nenek membuatkan pesananku, aku memainkan HP, seketika kembali kusadari keheningan tempat tinggal nenek. Nenek menghampiriku untuk meletakan gado-gado pesananku, lalu bertanya aku mau minum apa “Es jeruk nek” jawabku. Sebelum nenek sempat membalikan badan, aku kembali bertanya “Kesya mana nek?” dengan sedikit terlalu bersemangat nenek menjawab “Kesya ke Surabaya, nengok keluarga disana. Nanti malam pulang kok, Sek tak bikinin es jeruk yo.” Kembali kulihat sekeliling rumah nenek, jauh lebih rapi dibandingkan biasanya. Tidak ada sepatu berserakan di depan pintu ataupun bekas mainan masak-masakan di halaman, tidak ada pula jejak sepatu bertanah yang biasanya tercetak pada semen halaman rumah nenek.

Nenek memberikanku es jeruk yang kubalas dengan ucapan terimakasih, aku mulai memperhatikan bagaimana nenek merapikan jualannya, lalu masuk kerumah sebentar untuk mengambil es batu, lalu membuat teh untuk dirinya sendiri dan duduk di kursi yang berjarak sekitar dua meter dari tempatku duduk. Baru dua kali seduh, nenek kembali berdiri meninggalkan teh-nya yang masih mengepul. Rupanya kini nenek mengambil kain-kain lap yang sempat dijemur dan kini sudah kering, kembali nenek duduk di kursi sebelumnya, melipat sekitar dua kain lap sampai akhirnya mendadak kembali berdiri, gerakan yang cukup mengejutkanku, oh ternyata nenek mengusir ayam tetangga yang masuk ke halaman.

“Dari Jogja ke Surabaya berapa lama perjalanan nek?” Tanyaku saat nenek hendak kembali duduk ke kursinya. “5 jam kalau naik kereta. Enak naik kereta toh.” Sebuah jawaban yang terdengar seperti pertanyaan walaupun aku yakin nenek tidak peduli aku akan menjawabnya atau tidak. Tapi tetap kujawab “Iya nek, jauh lebih enak naik kereta.” Kemudian kembali hening. Nenek sibuk melipat kain lap-nya dan aku sibuk menghabiskan makananku. Tidak ada cerita yang biasa nenek lontarkan begitu saja tanpa aku perlu banyak bertanya. Selesai makan aku memutuskan untuk segera kembali kerumah, kesunyian di rumah nenek membuatku tak nyaman. Kukeluarkan uang pahlawan Sultan Mahmud Baddarudin dan memeberikannya kepada nenek sambil pamit.

Kubuka pintu rumah, hening. Suasana rutin yang biasa terjadi di dalam rumahku. Aku kembali naik ke lantai dua dan kembali menghadap kanvas lukisku. Terlihat lukisan dua rumah berdampingan dengan suasana yang berbeda, rumah pertama dengan warna-warna pastel dan disekelilingnnya banyak bunga bermekaran menimbulkan suasana hangat. Sedangkan satu lagi rumah dengan warna-warna gelap seperti hitam, abu-abu, dan coklat yang menimbulkan kesan suram, tapi lukisan tersebut belum utuh sepenuhnya. Aku melihat cat minyak yang berserakan di lantai, beberapa warna yang kubutuhkan sudah habis. Aku memutuskan untuk mengambil kunci mobilku dan pergi ke toko peralatan lukis.

Jam menunjukan pukul 21.00 saat aku kembali memasuki kompleks perumahanku. 50 meter sebelum sampai di depan rumah, kulihat kakek seberang rumah berdiri di pinggir jalan sambil terus menatap kearah jalan gerbang perumahan. Kubuka jendela mobilku dan kusapa kakek yang dibalas kakek dengan senyum hangat seperti biasanya, tapi senyum ramahnya pun tidak bisa menutupi kegelisahannya. Aku tidak bertanya ke kakek tentang apa yang sedang dilakukan-nya, dapat kusimpulkan kakek sedang menunggu cucunya pulang, Kesya.

Aku masuk rumah, tetap hening seperti tadi siang. Memang bik Inah yang biasanya mengerjakan pekerjaan rumah di rumahku sedang pulang kampung menengok suaminya yang sakit. Kuletakan kantong belanja alat lukisku diatas meja ruang tamu. Kunyalakan TV, tapi suara TV yang menggema justru semakin menegaskan kesunyian dalam rumah. Akhirnya kumatikan TV dan kembali menuju lantai dua tempat aku melukis. Tapi kali ini aku tidak berminat melanjutkan lukisanku, kubuat coklat panas kemudian aku duduk di balkon memperhatikan kakek yang asik mondar mandir di depan pagar rumahnya.

Tidak lama dari kejauhan kulihat dua mobil beriringan. Mobil mama, dan dibelakangnnya sebuah taxi. Kakek yang awalnya sedikit kecewa saat melihat mobil mama, beberapa detik kemudian terlihat sumringah setelah melihat taxi dibelakang mobil mama. Mama masuk ke halaman rumah setelah sebelumnya tidak lupa menyapa kakek. Kakek membalas salam mama dengan terlalu bersemangat dan kembali mengalihkan perhatian-nya ke taxi yang semakin mendekat. Pintu taxi terbuka dan muncul pria separuh baya dengan anak perempuan yang menyebabkan rumah di seberang sejak tadi pagi sepi. Kesya sudah pulang.

Kudengar suara langkah kaki menaiki tangga, tidak lama terdengar pintu kamar sebelah dibuka yang kemudian ditutup kembali. Kutatap pintu kamarku dengan pandangan nanar, sudah dua tahun aku belajar untuk tidak berharap mama akan membuka pintu kamarku hanya sekedar untuk mengucapkan selamat malam. Aku mengalihkan pandanganku kepada cangkir berisi coklat yang kini sudah tak menyisakan uap, dan entah perasaanku saja atau tidak, aku merasa angin yang berhembus semakin dingin, kurapatkan jaket yang kukenakan dan kutatap rumah seberang yang kini kembali mulai ramai. Kulihat nenek terburu-buru keluar rumah untuk menyambut cucu-nya, anak perempuan berumur 7 tahun itu berceloteh tentang pengalamannya selama di Surabaya yang disambut gelak tawa kakek dan nenek.


Angin berhembus semakin dingin. Aku putuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah, kututup pintu balkon, tapi tetap terasa dingin, dan hampa. Sebenarnya bagaimana perasaan hangat itu? Ah sudah lama rasanya tidak merasakan perasaan seperti itu. Aku tinggal di rumah yang enggan kujadikan tempat untuk pulang. Apa kau paham maksudku? Kalupun tidak tak mengapa, sejak dua tahun lalu aku sudah berhenti berharap seseorang dapat memahamiku. Ah sudahlah, sepertinya aku harus kembali melanjutkan lukisanku yang belum terselesaikan.

Komentar

Postingan Populer