Melepas Memori (cerpen series)



Dan di suatu hari kita bertemu kembali, di tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda, yang tak berubah hanya perasaanku padamu. Aku melihat kilatan kaget dimatamu yang beberapa detik kemudian berganti menjadi sebuah senyum hangat, sama seperti saat pertama kali kita bertemu, aku membalas dengan senyuman terbaik yang tak pernah aku berikan kepada orang lain selain dirimu, hanya saja kau tak akan pernah menyadarinya.
Kau mengulurkan tanganmu untuk berjabat tangan, aku ragu, aku takut, bila hanya dengan melihatmu saja seluruh perasaanku kembali terusik, bagaimana jika indra perasaku bersentuhan denganmu? Kuberanikan diri untuk mengangkat tanganku dan bersentuhan dengan jari jemarimu, seketika seluruh kotak memori kembali terbuka, tetapi segera kututup paksa kotak memori tersebut. kau bertanya “bagaimana kabarmu?” aku menjawab dengan kebohongan yang sering kali diucapkan semua orang “aku baik”
tentu saja aku takkan pernah mengatakan hal sejujurnya bahwa aku tidak baik-baik saja bertemu denganmu, karna bertemu denganmu sama artinya dengan menghamburkan semua memori yang sudah lama kususun dan kusimpan di ruang terdasar hatiku dan itu berarti aku harus kembali menatanya dari awal, bukankah itu melelahkan? Kau bisa saja menyembunyikan perasaanmu, tapi logikamu takkan pernah membiarkan kau lupa akan perasaan yang tesimpan itu.
Kita duduk di sudut café dekat jendela, saling bertukar kepingan cerita hidup, aku kembali melihat sosok dirimu yang dulu, mata yang selalu memancarkan harapan dan impian masa depan, hal yang selalu kusukai, tiba-tiba handphonemu berbunyi menandakan datangnya sebuah pesan, segera kau melihat layar di handphonemu dan seketika tersenyum, senyum yang tak pernah kau perlihatkan padaku, senyum dengan binar mata yang tak akan pernah bisa dijelaskan, senyum yang serupa dengan senyuman yang selalu kuberikan padamu. Tiba-tiba kau mengalihkan pandanganmu dari layar handphone, kau menatapku dan berkata “tunanganku sudah menungguku, maaf aku harus segera pergi” kau mengucapkan hal tersebut dengan senyum yang tetap terukir di bibirmu, aku mengangguk dan tersenyum, segera kau bangkit dan pergi meninggalkan café, aku hanya bisa melihat punggungmu semakin menjauh, kemudian hilang di balik kumpulan orang yang berlalu-lalang.
Tanpa sadar genangan air dari mataku perlahan menuruni pipiku lalu mendarat di taplak meja café, aku melihat air itu meresap kedalam tekstur kain lalu perlahan-lahan memudar dan mengering. Kupikir proses tersebut sama dengan perasaan kita, semua bekas yang ditinggalkan setiap orang yang singgah di hidup kita cepat atau lambat pasti akan terhapuskan, Sama halnya dengan bekas yang kau tinggalkan di hatiku akan terhapuskan entah oleh waktu maupun oleh orang yang pantas menggantikannya. Seketika kesadaran mengetuk logikaku dan kini aku menyadari bahwa aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu tapi aku justru lupa berdoa untuk kebahagiaanku sendiri, aku tersenyum, kuusap sisa air mataku dengan jari-jariku, lalu aku berdiri dari kursi bersiap meninggalkan café beserta kepingan memori tentangmu.

Komentar

Postingan Populer