Pria yang Dicintai Alam Semesta
Muara Badak, Januari 2018
Sungai
Mahakam
Kupijakan kakiku pada kayu yang ikut bergerak seirama dengan langkah kakiku.
Kayu
tersebut mengapung di atas air berayun ke kanan dan ke kiri menyesuaikan keseimbangan tubuh yang
kujaga.
Seorang
pria paruh baya melakukan hal yang sama, kayu kembali
berayun.
Pria
tersebut melepas ikatan tali yang menghubungkan dermaga dengan kapal kayu yang
kini kutumpangi.
Kuperhatikan
pria dihadapanku, betapa hidup telah menjadikan warna kulitnya sehitam tuas
kapal yang ia kendalikan.
Pria
tersebut tidak banyak bersuara, bahkan ketika ditanya hanya bercerita seperlunya.
Ia
lebih banyak memandang kosong, seolah merenungi apa yang telah dilakukannya
sepanjang hari.
Menyalakan
mesin perahu, mengarahkan kendali perahu, mengikat perahu ke dermaga, dan akan terus
berulang.
Perahu
kayu sederhana ini terus mengapung diatas sungai Mahakam, sungai terluas di
Indonesia yang dikelilingi oleh tumbuhan bakau.
Ia
arahkan tuas kapal ke kanan, menuju sebuah dermaga kecil yang berlatar kumpulan
pohon bakau.
Ia
ikat kapal ini pada kayu dermaga, dan aku lihat bercak kehidupan pada punggung
tangannya.
Luka
bakar yang nampak bertahun-tahun menetap pada tangan tuanya, indah.
Menggambarkan
sebuah upaya yang diperoleh dari tangannya sendiri.
Muara Badak, Januari 2018
Pantai
Kurma
Kubiarkan
tubuhku berayun bersama ayunan kayu yang terikat pada pohon yang berjarak
puluhan langkah dari pantai.
Aku
ayunkan tubuhku melawan angin pantai, sembari mengamati dua anak kecil yang dengan tidak pedulinya berlarian di pinggir pantai
tanpa sedikitpun benang pada tubuh mereka.
Mereka
terlihat bebas tanpa terikat oleh aturan.
Aku
tertawa dan bergumam dalam hati “nikmatilah, karena kau tidak lagi bisa merasakan sebebas itu saat menjadi dewasa”
Tak
lama, satu anak berhenti dan menunjuk ke arah lautan, anak satunya ikut melihat
ke arah yang sama
Mereka
berdua semakin dekat ke arah pantai.
Hampir
dekat, cukup dekat, sangat dekat, dekat, hingga yang kulihat hanyalah ombak
yang terlihat marah.
Cukup
lama otakku berprasangka, bahkan terlalu lama untuk menerka apakah yang kulihat
bukan lagi hal yang menyenangkan?
Belum
sempat otakku menyimpulkan, aku lihat dua kepala anak yang muncul di dasar air.
Tidak,
aku salah, bukan dua, aku bahkan melihat ada tiga kepala di dasar air.
Bagaimana
bisa?
Mereka
berenang ke tepi pantai, semakin dekat, lebih dekat, dekat, dan akhirnya sampai.
Kepala
ketiga yang aku lihat sama sekali tidak mirip dengan dua kepala anak pemberani
tersebut.
Tapi,
itu makhluk apa?
Anak-anak
itu tertawa lebar sambil menarik makhluk yang memiliki cangkang seperti
kura-kura namun bertubuh seperti ikan pari serta memiliki buntut seperti ikan
pari.
Belum
sempat aku mendekat untuk menuntaskan rasa penasaranku, pria paruh baya
menghampiri anak-anak tersebut dan terlihat marah.
Anak-anak
tersebut lari dengan tawa lebar mereka, seolah tidak terjadi apa-apa.
Lalu
kulihat perubahan raut wajah pada pria paruh baya itu.
Kerutan
marah pada dahinya semakin redup tergantikan binar mata yang menyuarakan
keprihatinan terhadap makhluk dihadapannya.
Perlahan
pria itu genggam buntut makhluk tersebut, lalu ditariknya makhluk tersebut
kembali ke pantai.
Berkali-kali
ombak menghempaskan makhluk tersebut untuk kembali ke darat.
Berkali-kali
pula kulihat pria tersebut berusaha mengembalikan makhluk itu ke habitatnya.
Hingga
akhirnya alam semesta merestui usaha pria paruh baya tersebut.
Berhembuslah
angin kencang yang menggerakan ombak untuk menarik makhluk tersebut pulang ke
rumah.
Angin pun dengan lembut menyentuh wajah keriput pria yang kini sedang tersenyum, ah betapa alam
semesta mencintai pria sepertinya.
Komentar
Posting Komentar